WONOSOBOZONE - Alat musik tradisional unik asal Wonosobo, yang dikenal dengan nama Kowangan alias Bundengan ternyata mampu menghipnotis Rossie Cook, pemerhati benda-benda cagar budaya (Konservator) asal Negeri Kanguru, Australia. Jarak ribuan kilometer melintas lautan rela dilalui Rossie demi mendalami alat musik yang awalnya diciptakan seorang penggembala bebek di Ngabean Kalikajar, ratusan tahun silam tersebut. Padahal, kecintaannya terhadap Bundengan, muncul tanpa sengaja, tatkala ia diminta untuk memperbaiki dan merawat sebuah benda terbuat dari bilah bambu dan berbentuk aneh, oleh Universitas Monash, Australia. Ketidaktahuannya akan benda asing itulah, yang kemudian membawanya menjelajah dunia maya, hingga menemukan sosok Munir, seniman Bundengan asal Ngabean Kalikajar, tengah memainkan kowangan dan diunggah ke sebuah laman media sosial.
“Butuh waktu lama sampai akhirnya saya menemukan sebuah video yang menayangkan Pak Munir tengah memainkan Bundengan. Dari situlah saya memahami bahwa benda yang sedang saya coba perbaiki di Universitas Monash tersebut adalah Kowangan,” terang Rossie di depan tak kurang dari 60 pelajar sekolah dasar, yang tengah mengikuti Workshop Bundengan di Pendopo Kabupaten, Kamis (16/3). Secara jujur, Rossie mengaku sangat terpesona pada permainan Munir dalam video singkat tersebut, hingga akhirnya memutuskan untuk pergi ke Wonosobo, pada Agustus 2016. Kunjungan pertama itulah yang menurut Rossie mempertemukannya dengan Munir dan Buchori, seniman Budengan lainnya secara langsung. Tak hanya kedua orang yang disebutnya sebagai master Bundengan, Rossie juga bercerita bahwa kunjungan pertama pada Agustus tersebut juga mempertemukannya dengan Mahrumi, seorang pembuat kowangan. “Saya juga jadi tahu kalau kowangan atau Bundengan ini biasa dibawa ke sawah ketika mengembala itik, dan juga berfungsi sebagai caping, alias penutup kepala,” lanjutnya.
Sosok lain yang disebut Rossie terkait ketertarikannya dengan Bundengan adalah Mulyani, seniwati tari sekaligus guru dari SMP 2 Selomerto, yang menunjukkan kepadanya bahwa Bundengan juga dipelajari para siswanya. Hal itu melegakannya, karena ia sempat sangat khawatir seni Bundengan sudah punah, sebagaimana disampaikan koleganya di Australia, yang meyakini Bundengan sudah punah sekitar 45 tahun silam. Kehadirannya pada acara Workhsop Bundengan hasil kolaborasi antara Sanggar Ngesti Laras dan SMP 2 Selomerto, serta Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Wonosobo itu, diakui Rossie juga menumbuhkan optimisme akan masa depan kesenian Bundengan.
Hal itu selaras pula dengan keinginan Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Publik, Bambang Sutejo. “Kesenian Bundengan ini memiliki nilai historis luar biasa, karena di masa-masa penjajahan Belanda dulu, termasuk seni yang sangat digemari warga masyarakat Wonosobo,” terang Bambang dalam sambutan pembukaan Workshop. Dengan semakin banyaknya generasi muda yang mengenal Bundengan, Bambang meyakini kesenian tersebut tak akan sampai punah dan hilang ditelan jaman. “Dalam kesenian Bundengan ini terkandung makna filosofi dan pendikan karakter yang apabila diajarkan kepada anak-anak, akan mampu membekali mereka untuk tumbuh menjadi manusia penuh tanggung jawab dan bermental kuat,” pungkas Bambang.
(Danang Hari Purnomo-Staf Diskotik Pemkab Wonosobo)
0 komentar:
Posting Komentar