Tyovan Ari Widagdo di Pangung Puncak HUT Wonosobo Ke 190th. |
WONOSOBOZONE –
Bel tanda pulang sekolah berbunyi, Tyovan langsung
keluar gerbang dan berdiri di tepi jalan. Dia menunggu angkot. Tujuannya adalah
kantor notaris di kawasan Jalan A. Yani Wonosobo, untuk mengurus izin pendirian
CV. Setiba di sana, staf yang menerimanya malah menertawai Tyovan yang
masih mengenakan seragam putih-abu abu itu.
Dua pekan
setelah itu, Tyovan kembali menyambangi kantor notaris. Namun, Ia memilih
kantor lain, bukan yang ia datangi sebelumnya. Giliran ini, dandannya
rapih. Tyovan tidak lagi pakai seragam sekolah. Akhirnya ia memang
diterima baik. Setidaknya, para pengurus di kantor notaris itu mencoba
memperlakukannya seperti klien pada umumnya.
“Sebenarnya
dari mimik mereka, kelihatannya mereka juga meragukan saya. Apa benar sudah
berusia 21 tahun. Tetapi saya sok percaya diri saja,” kisah Tyovan. Ketika itu
dia memang sudah mengantongi KTP baru dengan identitas umur yang lima tahun
lebih tua, 21 tahun. “Ya dulu itu memang saya mencoba mengakali,” ujar Tyovan
tersenyum mengenang kejadian di tahun 2007 itu.
Tyovan
memiliki nama panjang, Tyovan Ari Widagdo. Sekarang ia menjabat sebagai CEO
Bahaso.com (PT. Bahaso Intermedia Cakrawala), sebuah perusahaan aplikasi sosial
media untuk belajar bahasa asing. Sebelumnya, pada 2013, Tyovan menjabat
sebagai Country Representative Dolphin Indonesia. Jabatan itu ia dapat setelah
kepulangannya dari Amerika.
Beberapa
bulan sebelumnya, Tyovan mengikuti Global Tech Competition and ASES Summit
2013. Dalam ajang yang diikuti peserta dari 38 negara ini, Ia masuk lima
besar terbaik. Salah satu hadiahnya, adalah ‘jalan-jalan’ gratis ke Silicon
Valley, kawasan di AS yang tersohor di seluruh dunia karena industri
teknologinya. Setahun sebelum berkarier di Dolphin, Tyovan pernah mengerjakan
sistem aplikasi pelaporan dan koordinasi yang ditanam di iPad Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.
Pada 2015 ini usianya 25
tahun. Sangat muda untuk memimpin sebuah perusahaan IT. Tetapi, bila melihat
kebelakang, pencapaian itu seolah sudah berjalan pada jalurnya. Saat belum
genap 17 tahun, ia sudah sanggup merancang aplikasi chatting semacam whatsapp
berbasis WAP, yang hanya bisa dipakai di HP Nokia ‘zaman dulu’.
Ketika
masih duduk di kelas bangku SMA, Tyovan pun sudah menjadi direktur perusahaan
IT. Perusahaannya Ia beri nama CV. Vemobo Citra Angkasa. Nama yang sempat
membuat notaris penasaran mengenai artinya. ”Saya suka saja nama Vemobo,” kata
Tyovan menjawab.
Proyek
pertamanya membuat website KPUD Wonosobo. Nilainya Rp25 juta. Proyek itulah
yang membuatnya nekat mengurus izin mendirikan CV. Sebelumnya berbagai
pesanan-pesanan proyek IT ia garap, tanpa payung resmi.
Mula-mula
usaha ia kerjakan sendirian. Tyovan menjadi bos merangkap tukang. Artinya, dari
A—Z, roda usahanya ia kerjakan semua. “Mabuklah pokoknya saya,” kelakar
Tyovan, menggambarkan betapa lelahnya dia ketika itu.
“Setiap
hari saya main PS setelah pulang sekolah. Ya main Winning Eleven, ya Tony Hawk, wes banyak
pokoknya. Itu waktu SMP. Biasanya sehari main dua jam. Uang jajan saya habis
untuk main PS. Kemudian lama-lama saya kepikiran, ‘seandainya saya bisa buat
game, keren juga ya’.”
Tyovan
lebih termotivasi lagi setelah guru seninya di SMP yang bernama Pak Sri
bercerita di depan kelas mengenai kegiatannya di luar sekolah yaitu belajar
program komputer. Guru itu berpesan agar murid-muridnya juga mempelajari
komputer, dan menggunakan internet untuk mengembangkan pengetahuan, bukan cuma
Friendsteran, yang saat itu lagi tren. Dari situ, Tyovan tertarik pada
komputer. Pertama-tama belajar aplikasi standar, seperti microsoft word dan
excel.
Saat masa
liburan lulus SMP, Tyovan akhirnya mengubah kebiasaan. Bukan lagi rental PS
yang ia sering sambangi, tetapi warung internet. Tujuannya satu; mengejar mimpinya
untuk menguasai bahasa pemrograman komputer.
“Saya
diajak teman ke warnet. Pertama kali buka internet, yang saya buka itu situs
porno.”
“ Yang
ngajari teman. Aduh, itu konyol banget,” kata Tyovan sambil tertawa-tawa.
Komputer
bagi Tyovan kecil merupakan barang yang sulit dijangkau. Sekolahnya mempunyai
lab komputer, namun hanya bisa dipakai sesuai jadwal giliran pelajaran.
Jadilah
warnet sebagai tempat favorit bagi Tyovan merambah dunia maya. Ini membuat isi
kantongnya selalu terkuras. Apalagi dengan uang saku dari orangtua yang hanya
Rp5 ribu. Untuk sewa internet satu jam pun masih kurang Rp1000. Karena
kendala itu, timbul idenya untuk mengakali mesin tagihan warnet.
Bekalnya
adalah ilmu meretas yang ia intip di forum-forum internet. Setelah mencoba-coba
ia menemukan cara menjebol sistem tagihan di warnet. Akhirnya ia bisa puas
berselancar karena bisa bermain lima jam dengan hanya membayar satu jam.
Kebetulan, di Wonosobo sekitar tahun 2007, hanya terdapat dua warnet. Warnet
selalu penuh pengunjung, sehingga penjaga warnet, tidak pernah curiga.
“Saya
memang sempat tersesat. Saya ikut komunitas-komunitas peretas. Niatnya belajar
program eh malah belajar meretas,” ungkapnya. Berbagai kejahilan di dunia maya
pernah ia lakukan. Namun setelah itu ia serius mendalami ilmu pengembangan
teknologi informasi.
Komputer, laptop, atau
gadget yang harganya mahal-mahal, saat ini tidak sulit didapatkan Tyovan Ari
Widagdo. Maklum sekarang dia cukup sukses. Situasinya saat ini kebalikan dengan
ketika dia pertama berkenalan dengan dunia digital di masa sekolah. Jalannya
lika-liku. Dana yang minimalis, menyita kesabaran dan menuntut ketekunannya
dalam mencari peluang bermain komputer.
Ia ingat.
Saking ingin bisa selalu main komputer, Tyovan rela mengikuti lomba penyiaran
radio di sekolahnya, SMA 1 Wonosobo. Pasalnya, informasi dari pengumuman yang
beredar, pemenang lomba itu akan diangkat jadi pengurus radio sekolah. Ruang
studio radio dilengkapi komputer dan akses internet. Itulah satu-satunya alasan
yang membuat Tyovan niat betul mengikuti lomba.
"Enggak
disangka saya juara satu. Otomatis saya jadi ketua, dan ketualah yang pegang
kunci ruangan. Saya senang bukan main," papar Tyovan. "Saya siaran
saat pulang sekolah, atau sebelum masuk sekolah. Kalau siaran, saya lebih
banyak putar lagu, sedikit bicara. Jadinya saya bisa lebih lama main internet,”
ceritanya.
Akses ke
komputer di ruang radio menjadi seolah tak ada batasnya. Dia sering begadang
dan baru pulang usai subuh dari ruangan radio. Akhirnya terlambat sekolah. Itu
membuat peringkatnya di kelas ada di zona merah. “Saya juara dua dari belakang,
dan satu dari lima siswa di SMA yang dikhawatirkan bisa tidak lulus pada Ujian
Nasional,” katanya.
Waktunya
di ruang radio sekolah, sampai begadang-begadang itu, ia manfaatkan untuk
melakukan riset dan bereksperimen membangun website berita Wonosobo,ewonosobo.com. Ide membuat Website muncul setelah chatting dengan
kenalannya di forum internet yang ingin datang ke Indonesia.
“Saya
bilang ke Wonosobo saja. Tetapi dia tidak tahu Wonosobo. Dia tidak banyak
mendapat informasi tentang Wonosobo karena informasinya sangat minim di
internet. Yang ada hanya di Wikipedia. Itu pun isinya data standar. Wonosobo
punya website ketika itu, tetapi tidak bisa diakses. Padahal Wonosobo daerah
wisata, ada Dieng dan segala macam yang butuh internet untuk sarana promosi,”
ujarnya.
Untuk
mengisi materi di website Wonosobo yang bisa dinikmati warga Wonosobo bahkan
luar negeri, ia mencari data ke kantor pemerintahan setempat. Namun, permintaan
Tyovan untuk mendapatkan data tentang Wonosobo, tidak ditanggapi.
Tyovan
baru mendapat jalan setelah datang ke humas Pemda. Di sana ia bertemu seorang
staf yang melek teknologi informasi dan mengerti dengan misi Tyovan. Staf humas
yang bernama Agus Wibowo tersebut antusias membantu mencarikan data-data yang
diperlukan Tyovan. Website ewonosobo.com pun
jadi. “Modalnya sekitar Rp100 ribu, untuk beli domain dan hosting,” ungkapnya.
Tetapi
hanya berumur satu pekan, web tidak bisa diakses.“Saya paham ini ada yang usil.
Kemudian saya dibantu untuk ketemu dengan Pak Bupati. Pak Bupati lalu
mengumpulkan orang-orang bagian IT di Pemda. Dia Cuma ngomong, ‘Ini
Tyovan. Websitenya mati, tolong dibantu’. Selesai itu, enggak tahu bagaimana,ewonosobo bisa
diakses lagi,” tutur Tyovan.
Kemunculan
website ini, menjadi tonggak karier Tyovan. Namanya mulai dikenal. Sejumlah
media lokal tertarik mengangkat artikel mengenai sosoknya. Dari situ, berbagai
proyek-proyek kecil mulai berdatangan, hingga KPUD Wonosobo menjadi kliennya.
Nilai proyeknya Rp25 juta.
“Proyek
saya kebut tiga minggu. Sampai sering, dalam sehari cuma tidur tiga jam. Saat
terima uang, senangnya minta ampun. Enggak pernah lihat uang sebanyak itu,”
akunya.
Uang itu
kemudian ia pakai beli laptop seharga Rp21 juta. Ia beli di Yogyakarta. Teman
sekolahnya heboh, karena pada 2007, belum ada satupun temannya di SMA mempunyai
komputer jinjing. Mungkin ada juga motivasi untuk gagah-gagahan, tetapi Tyovan
memang memerlukannya untuk bekerja.
Bisnisnya semakin
berkembang. Tyovan kemudian merangkul 15 pegawai untuk menjalankan roda CV
Vemobo Citra Angkasa. Dia menyewa kantor sederhana di pinggir jalan kawasan
Jalan Bimo, Wonosobo. Bisnis ini belakangan membuatnya sempat ragu untuk kuliah
di Jakarta karena khawatir akan kesulitan mengelola usahanya itu. Namun, yang
pasti, pilihannya untuk meneruskan pendidikan di jurusan IT sudah bulat.
Kendalanya,
bila dihitung-hitung, penghasilan orangtuanya menjual kupat tahu yang hanya
sekitar Rp1 juta per bulan, dirasa tidak mencukupi. Toh, orangtuanya tidak mau
patah semangat. “Saya pernah bilang ke bapak, ‘Pak kalau saya lulus
sekolah saya mau kuliah’. Ayah saya menjawab,’Wes pokoke isolah (Ya sudah, pokoknya bisalah)’.”
Universitas
Gadjah Mada jadi salah satu pilihannya, karena Yogyakarta lebih dekat dengan
Wonosobo, ketimbang Jakarta. Tetapi saat ujian masuk, Tyovan mati kutu. Ia
merasa tidak mengenali soal-soal yang ada dalam ujian. Ia pun menjawab
sekenanya.” Hitung kancing dan silang indah. Habis itu tiduran saja, karena
enggak enak mau keluar duluan.”
“Saya
enggak lulus. Teman saya lulus. Waktu pertama ketemu setelah dia masuk ke UGM,
dia menertawai saya. Ternyata dia kasih lihat semacam bulletin di UGM, yang
menampilkan liputan serba serbi ujian masuk UGM. Di situ ada foto orang sedang
tertidur di meja. Wajahnya enggak kelihatan, tetapi saya tahu itu baju yang
saya pakai waktu ujian. Enggak bisa masuk UGM, tetapi masuk majalahnya,” ujar
Tyovan tertawa-tawa.
Setelah
sempat bimbang, Tyovan akhirnya memilih kuliah di Jakarta, menimba ilmu
di Binus University. Bisnisnya di Wonosobo tetap diurusi, meski harus
pulang-pergi Jakarta-Wonosobo sepekan atau dua pekan sekali. Pilihannya ke
Jakarta ternyata membawa berkah. Relasinya semakin bertambah, proyek pun
berdatangan dari berbagai institusi dan BUMN di ibukota. “ Di Jakarta
saya jadi lebih mengerti bagaimana industri IT,” ujarnya.
Jika saat
sekolah di Wonosobo, proyek website ewonosobo.com, menjadi batu loncatan yang mengatrol
namanya, setelah di Jakarta, kompetisi Global Tech Competition and ASES
Summit pada 2013 yang digelar Stanford University, membuat namanya dikenal secara
internasional. Pergaulannya di komunitas IT dunia pun semakin luas.
Banyak pelajaran yang ia
serap dari perjalanan selama satu bulan di Negeri Paman Sam. “Itu rasanya luar
biasa, seperti naik haji saja. Kalau orang Islam naik hajinya ke Makkah, orang
IT ke Silicon Valley. Wah itu kayak sebuah cita-cita yang enggak mungkin,” kata
Tyovan.
“Setelah
eksplorasi di Amerika, ketemu banyak orang IT di sana, pikiran saya
terbuka. Saya bertemu teman baru, dia mahasiswa juga. Dia bikin
apps, dan perusahaannya laku dijual 1 juta dollar. Saya banyak belajar.
Makanya langsung berpikir kalau pulang ke Indonesia harus bikin sesuatu,” ujar
Tyovan.
Apresiasi dari kampung
halaman juga bukan main-main. Dia pernah didaulat berbicara sebagai pembicara
kunci di atas panggung lapangan alun-alun pada acara peringatan Hari Jadi
Kabupaten Wonosobo 1 Agustus 2015 yang dihadiri ratusan ribu orang.
Dengan itu, pegawai pemda atau kantor notaris mana di Wonosobo yang berani
menertawainya lagi?
Baca Juga: Tyovan Ari Anak Ajaib Indonesia, Dari Wonosobo Untuk Dunia
FIT
Baca Juga: Tyovan Ari Anak Ajaib Indonesia, Dari Wonosobo Untuk Dunia
FIT
Source: http://teknologi.metrotvnews.com
0 komentar:
Posting Komentar