WONOSOBOZONE - ASRI, sebagai slogan kebanggaan kabupaten Wonosobo pun tak tercermin pada kondisi pasar saat ini. Puing-puing pasca peristiwa memprihatinkan akhir tahun 2014 lalu masih terasa jelas di hadapan mata yang melototinya. Setelah proses pembongkaran dan pembersihan bekas lalapan api, kini nampak menjadi pajangan yang kosong. Ironi muncul ketika desas-desus proses pembangunan pasar induk yang begitu lirih di telinga masyarakat, membuat timbul pertanyaan. Apakah ada pagar yang membatasi ruang-ruang untuk bersuara? Meskipun sekedar bergosip ria tentang ekspektasi yang belum jua nampak realitanya. Apakah kehidupan pasar yang utuh perlu tidur lebih lama lagi? Sepi, layaknya kuburan, sudah menjadi pemandangan yang biasa.
Muncul kebijakan yang sangat aneh bin mbingungi adalah ketika alun-alun yang merupakan jantung kota, ditambah segi fungsionalnya sebagai pasar di setiap Minggu pagi (Sunmor). Letak stragisnya sebagai pusat pelbagai aktifitas masyarakat dimanfaatkan untuk menjadi lahan ekonomi masyarakatnya. Beraneka pedagang baik dari dalam maupun luar kota berbondong-bondong menghiasai keramaian guna mencari peruntungan. Awalnya sih cuma pedagang kuliner, namun dewasa ini beraneka pedagang muncul, ada pedagang pakaian, ikan hias, mainan, dan lain sebagainya. Ironisnya, beberapai kalangan pedagang itu ada yang berasal dari luar Wonosobo. Lalu apakah misi untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Wonosobo mealui pasar sunmor itu tepat sasaran? Yang paling miris adalah pembrobokan harga pasar. Sering mendengar keluhan ibu saya ketika mendengar calon pembeli bergumam, “ah, tuku nang alun-alun bae pas sunmor, luwih murah. Artinya, Ah, beli di alun-alun saja saat sunmor, lebih murah”. Hal ini berdasarkan realita karena ibu saya adalah seorang pedagang pakaian di pasar induk Wonosobo.
Saya sendiri pernah terjun secara langsung membuka lapak di sunmor kurang lebih tiga kali. Pungutan retribusi lapak sudah bukan hal yang mengagetkan lagi. Setiap lapak kala itu (satu tahun lalu) dikenai biaya lima ribu rupiah. Alasannya untuk kebersihan, keamanan dan bla bla bla, tutur penarik retribusi. Apakah ada yang mengkritisi, kemana aliran dana itu masuk? Bukankah kebersihan sudah ada yang menanganinya selain kesadaran masyarakat sendiri? Apakah ada biaya tambahan untuk pengamanan dan kebersihan? Dinalar, mereka (para pengelola kebersihan dan keamanan) sudah digaji secara intensif setiap bulannya. Apabila ada gaji tambahan karena adanya pasar sunmor, lantas apa peran pemerintah? Apakah hanya sekedar memberi izin kemudian mempersilahkan pihak lain yang mengaturnya? Sehingga menjadi lahan peruntungan di salah satu pihak. Ini sangat membuktikan bahwa sunmor telah menjadikan alun-alun tak sekedar pasar mingguan. Apabila ini salah satu relokasi dengan adanya proses pembangunan pasar, terfikirkankah akan dampak-dampaknya?
Memang kebijakan tersebut memberi dampak positif dan negatif. Namun alangkah baiknya apabila ada penanganan untuk meminimalisir dampak negatifnya. Yang sangat kontras adalah fokus pembangunan pasar induk yang tak kunjung berjalan. Saya cuma bisa ngece ketika menengok pasar Klewer di Solo yang proses pembangunannya sudah berjalan lebih dari 50% sedangkan di Wonosobo yang notabene hanya merenovasi pasar bagian barat (bukan keseluruhan) belum kunjung digarap. Isunya sepele, karena belum juga ada titik temu antara pemerintah dan para pedagang guna menyepakati keputusan (yang mungkin) tidak bertujuan ke mutualisme (saling menguntungkan). Entah apa itu kembali lagi karena minimnya ruang ndopok tentang pasar ke masyarakat luas. Dampaknya ya seperti itu tadi, selain pasar induk yang makin sepi, fungsi alun-alun sebagai ruang kegiatan publik pun kini sudah hampir 100% dikuasai pasar sunmor. Mau jogging minggu pagi saja sudah tak se-leluasa dulu. Musik minggu ceria yang biasanya digelar di depan pendopo pun kini sudah tak terlihat. Padahal event tersebut sangat berperan dalam menampung apresiasi musik di Wonosobo. Kini kegiatan lain seakan hanya menumpang di hiruk pikuknya pasar sunmor.
Saya memang bukan orang pasar, tapi saya rindu akan Pasar Induk Wonosobo secara utuh. Adanya relokasi pasar yang bisa dibilang semrawut ini tentunya juga menimbulkan rindu akan ASRI-nya wajah Kota Wonosobo. Jalan-jalan dengan nyaman, ora mbingungi. Main ke Rita tidak susah parkir, gara-gara bebarengan dengan relokasi pedagang di parkiran bawah Rita. Akses jalan di jalan pemuda tertutup rapat adanya relokasi di sepanjang jalan dari barat pasar hingga perempatan Kejaksaan Negeri. Angkutan umum berbagai jurusan mangkal di tempat yang tidak semestinya. Dan masih banyak lagi lainnya yang malas untuk dibahas, tapi cukup dirasani. Yaa mau gimana lagi, pasar perlu direlokasi kan?
Kita nampaknya perlu menoleh kembali bahwa pasar sebagai ruang sosial, tak sekedar tempat hulu hilir antara penjual dan pembeli. Pasar sebagai ruang realisasi budaya, tak sekedar tempat mobilitas ekonomi dan komersial. Eksistensi pasar melalui empiris kehidupannya tak luput dari ruang tersebut sehingga substansi sebuah pasar harusnya tetap hidup guna menjaga harmoni sosial dan budaya di tengah dinamika modernisasi kegiatan ekonomi dewasa ini, tutur Endy Marlina dkk dalam jurnal Humanioranya. Meskipun pada realitnaya sekarang sangat sulit meneropong aspek-aspek tersebut, perlu ditumbuhkan kesadaran untuk membakar rindu akan esensi pasar sesungguhnya.Maka ruang itu harus benar-benar ada dan tertata.
Jika ada pertanyaan, dimana sesungguhnya letak pasar induk Wonosobo, ada yang bisa menjawab? Terkait julukan ASRI mungkin sudah tidak koheren lagi, karena huruf R yang disebut Rapi tak nampak pada kerapian pusat kota Wonosobo akibat relokasi pasar. Bukankah sangat wagu jika julukannya Wonosobo ASI?
.
Penulis: Muhammad Sa'id Abdulloh
https://www.facebook.com/muhsaidabd
0 komentar:
Posting Komentar