WONOSOBOZONE - Sangat sedikit masyarakat Wonosobo dan peminat sejarah yang mengetahui kejadian yang sangat memilukan dan menjadi Top News di era Hindia Belanda Tahun 1924 – 1925. Alam Wonosobo yang selama ini dikenal ramah dengan penduduknya, luluh lantak akibat gempa di Tahun 1924.
Dalam sebuah terbitan Majalah Lama Berbahasa Belanda “Indie”
yang terbit pada Tanggal 7 Januari Tahun 1925, disebutkan secara dramatis
kejadian bencana gempa di Wonosobo kurang lebih sebagai berikut : “Wilayah
Wonosobo di Hindia Belanda dikejutkan oleh teriakan melengking kesakitan dari
masyarakat yang semula hidup bahagia berubah menjadi kemalangan , kesusahan dan
kemiskinan . Dalam beberapa hari dan beberapa malam semua yang mereka miliki
dan sayangi , hilang, sehingga kesedihan dan keputusasaan telah mencengkeram
hati mereka ,Di daerah padat penduduk , cengkeraman bencana alam tanpa henti.
Rumah hancur , ternak mati dan melarikan diri , hingga celah-celah akibat
bencana menelan manusia, hewan, dan desa. Kampung atau jurang runtuh secara
ajaib dikepung oleh gempa bumi dalam hitungan detik , sementara banjir melanda.
Pemandangan daerah yang padat bangunan rusak. Ya , saat kita menulis ini , itu
sudah dihitung lebih dari seribu orang mati. “
Bangunan di masa kolonial yang nyaris runtuh di
WonosoboTahun 1925 (foto : Tropen Museum Holand)
Dramatisasi kejadian gempa di Wonosobo ini sebenarnya
tidaklah berlebihan, salah seorang politisi Hindia Belanda Mr Wijnkoops dalam
rapat interpelasi Pemerintah Hindia Belanda pertemuan ke 39 Tanggal 17 Desember
1924, menyatakan dalam sela orasi politiknya : “Saya ingin berbicara tentang bencana
yang terjadi di Wonosobo yang saat ini menjadi bahan pembicaraan , dengan gempa
bumi yang mengerikan kawasan yang indah di bagian dari Jawa Tengah ini telah
hancur . Saya mengucapkan bela sungkawa dan berusaha memberikan suatu yang
lebih untuk daerah yang indah tersebut. Saya tidak bisa membayangkan apa yang
terjadi disana.”
Rumah penduduk di Wonosobo yang ambruk karena gempa Tahun
1925 (foto : Tropen Museum Holand)
Gempa terjadi dimulai pada hari Minggu 9 November 1924.
Terdapat 5 guncangan dimana 3 guncangan terasa begitu keras sehingga penduduk
yang mempunyai rumah yang terbuat dari batu meninggalkan tempat. Rabu, 12
November 1924 terasa dua guncangan kuat di sore hari yang menyebabkan kerusakan
sangat serius. Gempa berlangsung 10 menit dengan guncangan yang keras dan
bergelombang dari arah utara disertai suara yang bergemuruh . Minggu, 16
November 1924 gempa kembali mengguncang cukup kuat . Pusat gempa , 4 KM BL dari
pusat Kota Wonosobo , telah menyebabkan fragmentasi dan pergeseran lapisan tanah.
Beberapa daerah yang disebut terkena dampak terparah adalah
kampung Kali Tiloe, Pagetan, Salam, dan Larang yang terseret runtuhnya tanah.
Sedangkan dampaknya mencapai daerah Wonoroto dari utara ke selatan dari pusat
gempa. Banyak kampung mengalami kerusakan yang sangat parah (Indie, hlm 331).
Lalu apakah yang menyebabkan gempa mengerikan ini? Pada waktu itu tidak ada
aktifitas vulkanik yang terekam. Getaran gempa ini murni gempa tektonik.
Banyaknya tanah yang bergerak dalam gempa ini adalah hasil dari situasi geologi
yang aneh . Kondisi ini diperparah dengan adanya lumpur yang masuk ke Sungai
Serajou (Serayu) dan Sungai Prengae (?) akibat gempa dan hujan lebat yang turun
sedemikian besar pada waktu itu, membuat air menaik dan menimbulkan banjir
besar yang menghancurkan banyak jembatan sehingga Wonosobo terputus jalur
komunikasi dan transportasi. Begitu dasyatnya penderitaan penduduk Wonosobo
pada saat itu yang sebelumnya telah didera kemiskinan akibat kolonialisme
ditambah dengan deraan gempa dan banjir besar yang mengikutinya.
Sebuah bukit di Wonosobo yang runtuh karena pergeseran tanah
akibat gempa bumi Tahun 1925 (foto : Tropen Museum Holand)
Gempa yang terjadi tidak hanya menghancurkan wilayah
pedesaan saja namun juga meluluh lantakan bangunan-bangunan kokoh di pusat
kota. Beberapa bangunan kolonial ambruk bahkan Hotel Dieng (Hotel Kresna
sekarang) hancur. Beberapa bangunan lain yang masih berdiri mengalami kerusakan
yang sangat parah.
Hotel Dieng (Hotel Kresna sekarang) mengalami kerusakan
berat akibat gempa Tahun 1925. (foto : Tropen Museum Holand)
Bantuan dari berbagai pihak mengalir ke Wonosobo setidaknya
ini dibuktikan dengan adanya salah satu pagelaran tinju di Surabaya pada Tanggal
4 Januari 1925 yang disponsori oleh warga keturunan Tionghoa dimana hasil
penjualan tiket disumbangkan untuk korban gempa bumi di Wonosobo (A.S.
Marcus,2002). Kejadian gempa yang menghancurkan memang telah lama berlalu.
Seiring dengan lajunya jaman, cerita dan sejarah tentang kejadian ini seperti
hilang tidak berbekas. Namun dengan terangkat kembali cerita sejarah yang
hilang ini diharapkan masyarakat Wonosobo yang hidup di era modern ini untuk
kembali berintrospeksi mengukur bagaiman kita bersyukur dan lebih bersahabat
dengan alam. Semoga tidak terjadi bencana yang mematikan seperti Tahun 1925 di
jaman modern ini. (Penelitian literatur oleh Bimo Sasongko - Staf Perpustakaan
Kab. Wonosobo)
0 komentar:
Posting Komentar