WONOSOBOZONE - Wonosobo bukan kota yang asing untuk saya. Semenjak kecil berkali-kali saya menginjakkan kaki di kota ini. Sepanjang akhir dekade 80-an. Ketika masih bersekolah di TK beberapa kali saya diajak Ayah untuk membayar pajak kendaraan di Samsat Wonosobo yang ketika itu masih berlokasi di kantor Satlantas Polres Wonosobo saat ini.
Hadiah yang diberikan oleh Ayah karena saya telah menemani bepergian ke Wonosobo adalah semangkuk mie ongklok dan sebungkus susu Ultra kesukaan saya. Kenangan itu pulalah yang kemudian memaksa saya untuk bersegera menikmati mie ongklok di hari pertama berdinas sebagai Kasubbag Humas Polres Wonosobo pada tanggal 18 Agustus 2014, lebih dari 24 tahun kemudian.
Waktu berjalan dengan sangat cepat. Berbeda dengan masa kanak-kanak, sepanjang tahun 1990 sampai dengan 2014 saya hanya empat kali berkunjung ke Wonosobo. Bersilaturahmi ke rumah kerabat di daerah Kejajar pada tahun 1994, berkunjung ke rumah karib saya di bilangan Wonobungkah pada tahun 2003, melaksanakan latihan Search and Rescue Akademi Kepolisian di daerah Garung pada tahun 2004, dan melintas dalam perjalanan dari Temanggung menuju Jakarta dengan bus malam pada awal 2014.
Satu persepsi yang bertahun-tahun melekat di benak saya, meskipun Temanggung dan Wonosobo sama-sama daerah pegunungan, saya beranggapan Wonosobo lebihnggunung dari pada Temanggung. Sepi dan tidak memiliki geliat kehidupan. Mungkin persepsi tersebut muncul dilatarbelakangi oleh pengalaman pribadi yang saya alami. Saya merasakan tantangan yang sangat berat untuk menginjakkan kaki di Wonosobo. Harus melewati serangkaian ujian fisik dan mental yang melelahkan.
Untuk sampai ke Wonosobo saya harus melewati jalan berkelok nan menanjak, menyusuri punggung pegunungan Sindoro Sumbing. Ketika itu angkutan umum yang tersedia dari Temanggung menuju Wonosobo juga sangat tidak menarik. Didominasi oleh bus-bus tua yang tidak nyaman, membuat bad mood siapa pun yang memandangnya. Kabar tentang kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh rem blong juga kerap saya dengar.
Isu tentang berbagai gangguan keamanan juga cukup meresahkan. Premanisme, perkelahian antar kampung, dan kejahatan jalanan—pencopetan, penjambretan, penodongan, pencurian, dan perampokan—sering dikaitkan dengan situasi keamanan wilayah Wonosobo. Bak mantra hipnotis, rangkaian berita negatif tersebut telah menggiring saya untuk enggan mengenal Wonosobo. Jangankan untuk jatuh cinta, untuk mendekat pun saya mengurungkan asa.
Berdinas di Polres Wonosobo adalah sebuah berkah tersendiri untuk saya. Setelah sembilan tahun berdinas di Jakarta—dari Januari 2006 sampai dengan Juni 2014—mendapatkan kesempatan berdinas di dekat kampung halaman tentu saja sebuah rejeki maha dahsyat. Ketika berdinas di Jakarta, belum tentu setahun sekali saya bisa pulang kampung. Sekarang, setiap akhir pekan saya dapat mengunjungi orang tua di Candiroto, Temanggung.
Selaku Kasubbag Humas, saya bertugas mengendalikan pelaksanaan dokumentasi dan peliputan berbagai kegiatan Polres Wonosobo. Saya juga bertugas untuk mempublikasikan hasil dokumentasi dan peliputan, baik publikasi di lingkup internal Polri maupun publikasi yang bersifat eksternal Polri melalui berbagai media massa—koran, televisi, radio, dan berbagai media sosial.
Jabatan selaku Kasubbag Humas Polres Wonosobo telah menuntun saya menuju sebuah taman surga. Di Wonosobo, Tuhan mempertemukan saya dengan anak-anak muda hebat dengan berbagai prestasi luar biasa, mengenal para pimpinan daerah nan teladan, serta bercengkerama dengan berbagai tokoh dan warga masyarakat. Saya banyak menimba ilmu dari mereka. Tak terhitung pengalaman dan pengetahuan yang mereka tularkan. Dari mereka pula saya menyadari Wonosobo telah berubah. Jauh lebih maju—baik secara tampilan fisik maupun performa non fisik.
Wonosobo hari ini adalah Wonosobo yang membuat saya nyaman dan aman bersila di warung-warung pinggir jalan. Sekedar menikmati kopi atau bersantap malam. Tanpa ketakutan dan tanpa bayang-bayang ancaman ketidaktertiban. Saya pun tidak pernah kehabisan pilihan untuk menentukan sajian. Ragam kuliner bertebaran siap menawarkan godaan. Semakin berat bagi saya untuk menurunkan berat badan.
Wonosobo hari ini adalah Wonosobo yang membuat saya nyaman di alun-alun untuk berlari di pagi maupun petang. Menyaksikan mereka yang khusuk berolah raga, anak muda yang berkumpul penuh tawa, atau mereka yang asyik bercengkerama sembari menuntun satwa piara. Di sana tak pernah ada pembeda antara yang tua dan yang muda. Semua berhak untuk bergembira bersama.
Ketika duduk sembari melihat dan mendengar anak-anak muda bermain alat musik, memainkan lagu-lagu klasik, saya merasa seperti bukan berada di alun-alun Wonosobo. Saya seolah sedang berada di tengah-tengah Hyde Park di Sydney, Australia. Suhu yang kadang kelewat dingin semakin meneguhkan imajinasi saya. “Ini bukan alun-alun Wonosobo, ini adalah Hyde Park Sydney di kala winter”, ucap saya dalam hati.
Angin dingin menyapu lembut, menggugurkan dedaunan. Gemercik air di sudut alun-alun membuat suasanan semakin larut. Saya dipaksa mengingat kenangan di Jardins du Trocadéro—sebuah taman dan kolam di seberang menara Eiffel di Paris. Sejuk, nyaman, dan tenang. Saya terhanyut dalam kedamaian Wonosobo.
Geliat pariwisata Wonosobo pun telah menasional. Foto-foto selfie anak muda di Sikunir, gunung Prau, Telaga Warna, serta kawah Sikidang seolah tidak pernah absen berseliweran di berbagai media sosial. Berbagai liputan juga kerap menghiasi laman pemberitaan. Tidak mengherankan jika sahabat saya dari Jakarta berduyun-duyun ke Dieng untuk menuntaskan rasa penasaran.
Di Wonosobo, malam dingin nan berkabut tak pernah berhasil memadamkan geliat seni dan pengetahuan. Sudut-sudut malam Wonosobo kerap disibukkan dengan diskusi sastra, pertunjukan teater, pentas puisi, bedah buku, bedah novel, sampai dengan talk-show dalam beragam topik. Sungguh, Wonosobo hari ini adalah gambaran kota kecil yang berperadaban.
Di lain tempo, ketika berjalan menyusuri lorong kehidupan budaya Wonosobo, saya seolah tersadarkan. Kedamaian dan keamanan Wonosobo dibangun di atas fondasi toleransi, penghormatan terhadap keberagaman, kasih sayang, dan rasa cinta terhadap sesama. Yang pada ujungnya, keamanan dan kedamaian tersebut terus menelurkan dan melahirkan keamanan dan kedamaian lain yang tiada pernah berhenti.
Saya pun terpancing untuk menelisik data. Angka kejahatan selama lima tahun terakhir—dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014—di wilayah hukum Polres Wonosobo mengalami trend penurunan. Meski angka tersebut bukan gambaran utuh situasi kamtibmas—terbuka kemungkinan adanya masyarakat yang tidak melaporkan tindak pidana yang dialami—tidak dapat dipungkiri bahwa data tersebut sangat relevan. Secara singkat dapat dideskripsikan Wonosobo semakin aman.
Lain batu lain karang. Lain Wonosobo yang dulu, lain Wonosobo yang sekarang. Meskipun jalan dari Temanggung menuju Wonosobo masih berliku dan menanjak. Meskipun punggung pegunungan Sindoro Sumbing tetap kokoh dengan awan yang berarak. Saya cinta Wonosobo secara mendadak.
Penulis: AKP. M. Taat Resdianto, SH, SIK, MTCP (Kasat Lantas Polres Wonosoo)

1 komentar:

Firdaus Laili mengatakan... 26 Januari 2015 pukul 07.33

Sekarang banyak anak muda Wonosobo yang kreatif dan berprestasi. Malu rasanya kalo tidak ikut berkarya dan berpartisipasi demi Wonosobo yang semakin baik.

Selamat datang kembali Mas Taat Resdianto. Teruslah ikut berkarya seperti tulisan Anda yang sangat menarik ini.

Eatbox Kitchen Wonosobo

Eatbox Kitchen Wonosobo
Jl. T. Jogonegoro, Funbox Resto Cafe, Lt.2
 
wonosobozone.com © 2015. All Rights Reserved.
Top