Team Takraw Wonosobo |
WONOSOBOZONE - Tim Sepak Takraw Wonosobo sukses menjadi juara umum dalam gelaran Pekan Olahraga Wilayah (Porwil) Kedu Pekalongan Banyumas (Dulongmas) Ke-3 Tahun 2015 yang digelar di Magelang, 20 – 23 Agustus.
Menurut Ketua Umum Persatuan Sepak Takraw Kabupaten Wonosobo, Gatot Hermawan, di RM H.Slamet, Senin 24 Agustus, tim sepak takraw Wonosobo sukses menjadi juara umum dengan raihan 2 medali emas, 1 medali perak dan 2 medali perunggu. Emas sukses diraih di nomor tim putra dan beregu putra, sedang perak diraih nomor beregu putri dan perunggu diraih masing-masing di nomor double event putra dan putri.
Wonosobo sendiri dalam DULONGMAS kali ini mengirm 19 atlet, 12 atlet putra dan 7 atlet putri yang bertanding di 5 nomor, yakni nomor tim putra, beregu putra dan putri serta double event putra dan putri.
Raihan ini lebih baik dibanding dua gelaran DULONGMAS sebelumnya. Dalam DULONGMAS I tim sepak takraw Wonosobo tidak meraih medali sedang dalam DULONGMAS II meraih 1 medali perunggu.
Gatot menambahkan, hasil ini jelas sangat memuaskan, mengingat kesuksesan ini diraih di tengah keterbatasan sarana prasarana latihan serta bibit-bibit atlet sepak takraw yang masih minim di Wonosobo.
Tempat latihan yang digunakan rutin untuk berlatih atlet, selama ini dipusatkan di balai desa Kreo, kondisinya masih jauh dari layak. Salah satunya alas lapangan pertandingan, yang seharusnya memakai kayu, namun masih memakai cor-coran semen, belum termasuk alat untuk pemanasan dan jumping atlet. Untuk bibit atlet, popularitas sepak takraw belum setenar sepak bola atau bola volley, sehingga perlu kerja keras untuk mendapatkan atlet-atlet berbakat yang mampu bersaing di semua level pertandingan.
Adi menambahkan, saat ini untuk bibit atlet, sebagian berasal masih dari Kejajar, khususnya desa Tieng dan Kreo, termasuk yang dikirim ke ajang DULONGMAS tahun ini. Mereka sebagian besar masih siswa sekolah, dengan rincian siswa SD sebanyak 2 orang putra yang berasal dari SD Kreo, 1 siswa dan 2 siswi dari SMP Tieng, 8 siswa dan 4 siswi dari SMA NU Kejajar dan SMA Muhammadiyah Wonosobo. Sisanya sudah lulus SMA.
Khusus untuk menghadapi DULONGMAS, pihaknya intensif berlatih selama 3 bulan di Balai Desa Kreo, dengan didampingi 2 orang pelatih, Adi Alfian dan Nur Rohmaji, dan mendapat bantuan pendanaan dari KONI Kabupaten Wonosobo sebesar 5,5 juta rupiah, termasuk uang saku per atlet sebesar 250 ribu rupiah.
Angka ini menurut Adi, jauh dari cukup mengingat kebutuhan yang harus mereka penuhi selama latihan cukup banyak termasuk untuk membeli sepatu. Bahkan mereka harus menambah biaya beli sepatu yang idealnya 270 ribu, namun anggaran yang ada hanya 150 ribu, sehingga mereka terpaksa memotong uang saku yang dimiliki 120 ribu rupiah.
Cerita uang saku minim ini juga cukup menarik, seperti yang dituturkan official team Ahmad Hamdi. Mereka sempat malu saat ditanya tim Kabupaten Pekalongan soal uang saku. Sebab di Kabupaten lain setidaknya uang saku per atlet lebih dari satu juta, beda dengan Wonosobo yang hanya 250 ribu, itupun masih dipotong untuk membeli sepatu.
Namun, meski di tengah keterbatasan, semua atlet bisa tampil maksimal, sebab menurut Gatot, dari awal selalu ia tanamkan ke diri setiap atlet bahwa cinta daerah asal akan terasa saat berada di tengah lapangan. Sehingga setiap tetes keringat yang dikeluarkan tiap atlet adalah sebuah nilai yang tidak bisa dihitung dengan apapun, termasuk materi.
Meski demikian ia berharap kepada instansi terkait, ada sekolah khusus bagi para atlet ini, khususnya yang masih duduk di bangku SD atau SMP, untuk dikumpulkan di sekolah yang sama sehingga pola pembinaan bisa terus berlanjut. Termasuk dengan meminta dunia usaha untuk menyalurkan atlet-atlet ini ke tempat usaha mereka, sehingga para atlet tidak keluar dari Wonosobo, dengan alasan mencari penghidupan yang layak.
Hal ini bukan tanpa bukti, seperti yang dialami salah satu atlet andalan Wonosobo, Wijiono (20 tahun). Atlet yang kondang selama DULONGMAS III berkat jumping smah-nya ini, sempat merantau ke Jakarta untuk bekerja menjadi buruh bangunan. Ini tentunya menjadi keprihatinan tersendiri, mengingat Wiji adalah asset daerah yang sangat berharga. Diharapkan jika mereka bisa berkumpul bekerja di Wonosobo, pola pembinaan tidak terputus dan prestasi mereka jauh lebih berkembang.
Gatot juga menekankan kepada para atlet agar rutin berlatih, meski tidak ada pertandingan, utamanya dalam mengatur pernapasan atau VO2 Max mereka, sehingga stamina dan fokus pertandingan mereka tetap terjaga. Termasuk kepada Pemerintah dan KONI Kabupaten Wonosobo untuk membantu meningkatkan sarana prasarana latihan para atlet, minimal dengan membuat alas lantai pertandingan dari kayu.
Sementara terkait bonus, pihaknya akan berupaya melakukan koordinasi dengan KONI, instansi terkait serta dunia usaha, sehingga ada sedikit penghargaan bagi jerih payah.
Menurut Ketua Umum Persatuan Sepak Takraw Kabupaten Wonosobo, Gatot Hermawan, di RM H.Slamet, Senin 24 Agustus, tim sepak takraw Wonosobo sukses menjadi juara umum dengan raihan 2 medali emas, 1 medali perak dan 2 medali perunggu. Emas sukses diraih di nomor tim putra dan beregu putra, sedang perak diraih nomor beregu putri dan perunggu diraih masing-masing di nomor double event putra dan putri.
Wonosobo sendiri dalam DULONGMAS kali ini mengirm 19 atlet, 12 atlet putra dan 7 atlet putri yang bertanding di 5 nomor, yakni nomor tim putra, beregu putra dan putri serta double event putra dan putri.
Raihan ini lebih baik dibanding dua gelaran DULONGMAS sebelumnya. Dalam DULONGMAS I tim sepak takraw Wonosobo tidak meraih medali sedang dalam DULONGMAS II meraih 1 medali perunggu.
Gatot menambahkan, hasil ini jelas sangat memuaskan, mengingat kesuksesan ini diraih di tengah keterbatasan sarana prasarana latihan serta bibit-bibit atlet sepak takraw yang masih minim di Wonosobo.
Tempat latihan yang digunakan rutin untuk berlatih atlet, selama ini dipusatkan di balai desa Kreo, kondisinya masih jauh dari layak. Salah satunya alas lapangan pertandingan, yang seharusnya memakai kayu, namun masih memakai cor-coran semen, belum termasuk alat untuk pemanasan dan jumping atlet. Untuk bibit atlet, popularitas sepak takraw belum setenar sepak bola atau bola volley, sehingga perlu kerja keras untuk mendapatkan atlet-atlet berbakat yang mampu bersaing di semua level pertandingan.
Adi menambahkan, saat ini untuk bibit atlet, sebagian berasal masih dari Kejajar, khususnya desa Tieng dan Kreo, termasuk yang dikirim ke ajang DULONGMAS tahun ini. Mereka sebagian besar masih siswa sekolah, dengan rincian siswa SD sebanyak 2 orang putra yang berasal dari SD Kreo, 1 siswa dan 2 siswi dari SMP Tieng, 8 siswa dan 4 siswi dari SMA NU Kejajar dan SMA Muhammadiyah Wonosobo. Sisanya sudah lulus SMA.
Khusus untuk menghadapi DULONGMAS, pihaknya intensif berlatih selama 3 bulan di Balai Desa Kreo, dengan didampingi 2 orang pelatih, Adi Alfian dan Nur Rohmaji, dan mendapat bantuan pendanaan dari KONI Kabupaten Wonosobo sebesar 5,5 juta rupiah, termasuk uang saku per atlet sebesar 250 ribu rupiah.
Angka ini menurut Adi, jauh dari cukup mengingat kebutuhan yang harus mereka penuhi selama latihan cukup banyak termasuk untuk membeli sepatu. Bahkan mereka harus menambah biaya beli sepatu yang idealnya 270 ribu, namun anggaran yang ada hanya 150 ribu, sehingga mereka terpaksa memotong uang saku yang dimiliki 120 ribu rupiah.
Cerita uang saku minim ini juga cukup menarik, seperti yang dituturkan official team Ahmad Hamdi. Mereka sempat malu saat ditanya tim Kabupaten Pekalongan soal uang saku. Sebab di Kabupaten lain setidaknya uang saku per atlet lebih dari satu juta, beda dengan Wonosobo yang hanya 250 ribu, itupun masih dipotong untuk membeli sepatu.
Namun, meski di tengah keterbatasan, semua atlet bisa tampil maksimal, sebab menurut Gatot, dari awal selalu ia tanamkan ke diri setiap atlet bahwa cinta daerah asal akan terasa saat berada di tengah lapangan. Sehingga setiap tetes keringat yang dikeluarkan tiap atlet adalah sebuah nilai yang tidak bisa dihitung dengan apapun, termasuk materi.
Meski demikian ia berharap kepada instansi terkait, ada sekolah khusus bagi para atlet ini, khususnya yang masih duduk di bangku SD atau SMP, untuk dikumpulkan di sekolah yang sama sehingga pola pembinaan bisa terus berlanjut. Termasuk dengan meminta dunia usaha untuk menyalurkan atlet-atlet ini ke tempat usaha mereka, sehingga para atlet tidak keluar dari Wonosobo, dengan alasan mencari penghidupan yang layak.
Hal ini bukan tanpa bukti, seperti yang dialami salah satu atlet andalan Wonosobo, Wijiono (20 tahun). Atlet yang kondang selama DULONGMAS III berkat jumping smah-nya ini, sempat merantau ke Jakarta untuk bekerja menjadi buruh bangunan. Ini tentunya menjadi keprihatinan tersendiri, mengingat Wiji adalah asset daerah yang sangat berharga. Diharapkan jika mereka bisa berkumpul bekerja di Wonosobo, pola pembinaan tidak terputus dan prestasi mereka jauh lebih berkembang.
Gatot juga menekankan kepada para atlet agar rutin berlatih, meski tidak ada pertandingan, utamanya dalam mengatur pernapasan atau VO2 Max mereka, sehingga stamina dan fokus pertandingan mereka tetap terjaga. Termasuk kepada Pemerintah dan KONI Kabupaten Wonosobo untuk membantu meningkatkan sarana prasarana latihan para atlet, minimal dengan membuat alas lantai pertandingan dari kayu.
Sementara terkait bonus, pihaknya akan berupaya melakukan koordinasi dengan KONI, instansi terkait serta dunia usaha, sehingga ada sedikit penghargaan bagi jerih payah.
Source: wonosobokab.go.id
0 komentar:
Posting Komentar