Masjid Al Mansur Kauman Tempo Doeloe |
WONOSOBOZONE - Kyai Karim dipercaya sebagai tokoh penting dalam perkembangan wilayah Wonosobo di waktu silam. Konon bersama keluarganya beliau bermukim di Bukit Lowoidjo atau berada di wilayah Desa Kejiwan sekarang . Pada waktu itu menurut kepercayaan bahwa terdapat telaga di dekat pemukiman Kyai Karim dan brayat yang terletak longkange (diantara) dua puntuk yang bernama Logandeng dan Bugangan.
Karena letak telaga yang berdekatan dengan tempat kediaman Kyai Karim, maka untuk keperluan rumah tangga setiap hari Kyai Karim menyuruh istri serta anak-cucunya mengambil air dan mandi di telaga itu. Pada waktu itu perintah yang setiap kali diberikan Kyai Karim pada keluarganya adalah : “jupuka banyu lan adusa ing kali Longkang kono” . Dari kata-kata yang sering kali terdengar diucapkan oleh Sang Kyai, maka dinamakanlah telaga tersebut Telaga Longkang.Setelah beberapa waktu berjalan nama itu masih digunakan oleh penduduk dan penghuni sekitarnya. Sekarang ini kata “Longkang” berubah pengucapannya menjadi “Longkrang” .
Keluarga Kyai Karim terus bertambah seiring semakin banyaknya pendatang yang mengakibatkan jumlah penduduk semakin meningkat. Kebutuhan bahan makanan yang terus bertambah mengakibatkan tanah ladang untuk menanam padi atau hasil bumi lain semakin terbatas. Maka melihat kondisi tersebut Putera Sulung Kyai Karim yang bernama Ki Tunteng, berusaha untuk mendapatkan tanah subur, guna menambah hasil bahan makanan yang diperlukan. Dengan mendapat ilham dari Allah SWT, maka kedua bukit (puntuk) dikedua sisi telaga digugurkan oleh Ki Tunteng, dan kemudian tanah dari bukit-bukit tersebut digunakannya untuk menimbuni telaga itu sehingga telaga akhirnya berubah menjadi ladang yang menghasilkan.
Setelah Kyai Karim wafat, Ki Tunteng pergi menyepi menjauhkan diri dari keramain dan keluarganya . Ia menetap di dataran yang cukup tinggi dan bekerja serta bersemedi setiap hari . Pekerjaannya adalah membuat pusaka dan dikenal sebagai orang yang sakti sehingga namanya semakin dihormati. Orang berkata : “Nyoto Pancen empu kang kenteng !”, (memang benar-benar empu yang sakti) dan sejak itu masyarakat menamakan tempat Putera Sulung Kyai Karim itu : Kentengan . Hingga sekarang tempat tersebut dinamakan orang “Kenteng” . Kata kentengan berubah ucapan menjadi kenteng . Ki Tunteng dikenal juga menciptakan pusaka wesi aji dengan pamor di atas ganjanya yang berlukiskan gunung bertumpuk, sebagai suatu isyarat bahwa barang siapa memiliki pusaka itu tiada akan sukar dalam perjalanan hidupnya untuk mendapatkan rezeki secukupnya dengan isin Allah SWT. Orang menamakan pusaka itu Ki Djalak Sangu Tumpeng.
Ki Tunteng semasa hidupnya sering mensucikan diri dengan bermandi di sungai sebelah Barat tempat tinggalnya yang merupakan lembah. Ditempat inilah banyak orang sering datang dan menyambut Ki Tunteng. Secara bercanda Ki Empu sering berkata kepada orang-orang itu : “ Arep adus wae semang ngili ! “ (Mau mandi saja harus ke sungai). Memang pada masa itu telaga di sekitar Logandeng dan Bugangan yang tadinya digunakan orang untuk mandi dan mengambil air telah diubah menjadi ladang dan sawah oleh Ki Tunteng . Tempat bersuci Ki Tunteng ini akhirnya menjadi tempat mandi penduduk sekitar. Demikianlah maka tempat pemandian baru tersebut dinamakan Mangli, asal dari kata-kata semang dan ngili.
Source: www.jatiningjati.com
0 komentar:
Posting Komentar