WONOSOBOZONE - Aku duduk termenung memandangi beriak air Danau Cebong yang sedari tadi dimainkan oleh angin. Tak hanya air, dedaunan dan rumput kecil tak pelak menjadi teman bermainnya yang hari ini nampak ceria bermandikan cahaya matahari yang terik tapi tidak terasa panas.
(Sebuah catatan imajinatif tentang bukit yang di banggakan oleh Abdul Choliq)
Source: wonosobomuda.com
Saat aku memandang lebih jauh, yang kulihat adalah pesona lukisan alam yang terhampar indah. Alam khayalku seperti diajak bermain oleh mereka, berimajinasi lepas dan bercengkrama terbahak mengobati kerinduan yang dalam dan tak bisa diungkapkan, hingga pandanganku terarah tepat pada arah jam sembilan, kulihat seonggok bukit yang sedang sakit tetapi selalu mencoba tersenyum meski semua orang yang melihat pun tahu bahwa sakit yang ia derita sudah begitu parah. Sepertinya ia telah disiksa begitu kejam dan lama, hingga teman-temannya, para rumput dan pepohonan sudah terlebih dahulu mati meninggalkanya.
Alam khayalku sontak langsung terdiam dari tawanya, terheran dan sedih melihat kenyataan bukit yang selama ini dibanggakan oleh mereka sedang sekarat, lalu alam khayalku dengan sedikit gemetar mencoba bertanya padanya, “apa yang sebenarnya terjadi padamu wahai bukit yang malang?”
”Hai bocah , bukankah aku terlihat tidak apa-apa dan masih tersenyum menyambut kedatanganmu ?” Jawabnya sambil tersenyum.
“Tidak semua senyum bisa menyembunyikan rasa sakit kawan, ceritalah bila kau berkenan”, timpalku sambil diikuti derai angin dan suara lembut tarian dedaunan yang sepertinya ingin mengisyaratkan tanda setuju.
“Apa pedulimu anak muda? saat aku masih bisa tersenyum dan mempersembahkan matahari terbit yang memukau pada kalian, bukankah itu sudah cukup? Siapa pernah peduli dengan keadaanku? Bukankah kalian menganggapku lebih rendah dari pelacur? Bayangkan saja, pelacur setelah kalian perkosa masih kalian bayar, sedangkan aku? Apa yang kalian lakukan? Jangankan dibayar, malah yang kalian lakukan meninggalkan sampah dan tak pelak tangan jail kalian membunuh teman-temanku para tetumbuhan dengan semena-mena.”
“Seburuk itukah aku dan sebangsaku memperlakukanmu wahai bukit yang kami banggakan?” tanyaku dengan nada getir.
“pertanyaanmu tak perlu aku jawab, aku hanya ingin mengatakan bahwa hewan tak mungkin memperlakukanku dengan kejam seperti ini.” Pungkasnya
Aku hanya tertunduk diam. Isak tangis yang sampai hampir tak terdengar karena mungkin sudah terlalu lama ditahan itu menambah haru suasana siang yang sebenarnya merdu ini. Aku memberanikan diri mengangkat kepalaku lagi dan menghadapkan dudukku pada bukit malang itu, lalu bertanya sekali lagi, “Apa yang harus aku lakukan untuk menyembuhkan sakitmu ini sebagi bentuk tanggung jawabku padamu?”
“Kalian bangsa manusia yang telah dikaruniai akal oleh Tuhan harusnya tahu apa yang harusnya kalian lakukan untukku.” Ia menjawab dengan suara beratnya. Sesaat, kami hanya saling beradu pandang dalam diam. Lalu ia melanjutkan. “Tapi tenang saja, kabarkan kepada semua orang bahwa aku baik-baik saja, nikmatilah matahari terbit yang sangat indah itu sepuas yang kalian suka. Aku akan tetap selalu tersenyum menyambut kedatangan kalian disini, toh juga jika akhirnya sakit ini membawaku pada kematian, tak pernah ada penyesalan dalam diriku karena aku sudah bermanfaat selama hidupku, tapi kalianlah yang akan merugi dengan ketiadaanku wahai makhluk yang paling sempurna.”
“Baiklah, aku pamit dulu.” Tak banyak kata yang bisa ku ucapkan padanya. Sampai kata maafpun tak sanggup terucapkan padanya, karena besarnya rasa malu padanya. Aku berjalan pelan menuju motorku yang terparkir dipojok danau. Saat aku sudah bersiap mengendarainya untuk pulang, tiba-tiba Ia berteriak, “Wahai anak muda, katakanlah pada mereka semua. AKULAH SIKUNIR, TAPAK SABDA SANG MATAHARI TERBIT TERBAIK DI ASIA TENGGARA!”
Aku menoleh padanya dan tersenyum, lalu beranjak pulang meninggalkan bukit dengan rasa bersalah yang begitu besar. Sekali lagi keserakahan manusia menunjukkan kekuasaannya, dan kelembutan alam menunjukkan keramahannya. Akhirnya sebagai manusia yang menyadari keserakahannya, aku hanya bisa berjanji pada diriku sendiri, “Tenanglah kau disana wahai Bukit Sikunir yang dibanggakan, aku akan berusaha membuatmu tersenyum lagi tanpa menahan rasa sakit dan aku akan datang lagi menikmati indahnya matahari terbit terbaik di Asia Tenggara bersama senyum bahagiamu yang tulus.
Source: wonosobomuda.com
0 komentar:
Posting Komentar