WONOSOBOZONE - Kartini adalah pemikir modern Indonesia pertama tama, yang tanpanya, penyusunan sejarah Indonesia modern tidaklah mungkin (Pramoedya Ananta Toer, dalam “Panggil Aku Kartini Saja”).
Kartini, dan Hari Kartini, sesungguhnya tak steril dari politik. Ia dikonstruksikan secara berbeda oleh setiap rezim. Diangkat namanya demi kepentingan politik etis, sosoknya juga sempat dijadikan simbol aktivis perempuan radikal oleh GERWANI, sebelum didomestifikasi oleh ORDE BARU. Konstruksi terhadapnya secara tak langsung merupakan potret dari gerakan perempuan yang lebih kompleks dari setiap masa.
Yang mencengangkan dewasa ini adalah bagaimana generasi muda mendekonstruksikan Kartini dalam konteks yang kekinian. Kartini dan Hari Kartini hanya di anggap sebagai sebuah seremonial “setengah sakral” untuk sekedar mengeksebisikan ke “kartinian” mereka. Pagi ini saja penulis melihat betapa massifnya peringatan Hari Kartini di portal media sosial. Ada yang memanifestasikan Kartini dengan sanggul dan kain kebaya plus batik, ada yang berlaga diajang kontes kecantikan bertemakan Kartini. Bahkan ada yang mendaki gunung dengan pakaian adat Jawa era Kartini untuk mengeskpresikan ke Kartinian mereka hari ini. Tidak jarang pula qoute qoute Kartini yang sebelumnya redup dan tidak terdengar kini kembali hingar bingar. Lalu dengan pandangan seperti itu kita sudah merasa bangga dan merasa kaum perempuan Indonesia sudah lepas dari kungkungan.
Banyaknya simbol simbol yang digunakan untuk menunjukan ke Kartinian ini kemudian memancing otak kita berpikir, Jadi hanya sebatas ini sajakah manifestasi Kartini di benak kalangan muda? Kartini yang dulu sempat dianggap sebagai pemicu Indonesia modern sekarang sudah demikian sempitnya diartikan oleh mayoritas generasi muda bangsa. Seakan mereka sudah merasa selesai ikut memperjuangkan apa yang telah Kartini perjuangkan hanya dengan pemaknaan simbolis tersebut.
Lucunya, yang hadir dan terus berjalan di depan mata kita sendiri sepertinya luput dari perhatian anak muda mengenai sosok Kartini di kehidupan kita saat ini. Buktinya? Hingga hari ini, kapitalisme sangat diuntungkan oleh "kerja diperlukan yang tidak dibayar" (unpaid necessary labour). Termasuk "kerja-kerja gratis" di dalam rumah tangga, seperti memasak, mencuci pakaian, memelihara anak, dan lain-lain. Sebagian besar pekerjaan itu dilakukan oleh perempuan (baca Kartini Kartini muda) .
Padahal, pekerjaan itu sangat berkontribusi menekan pengeluaran rumah tangga dan memastikan kondisi tenaga kerja (anggota keluarga yang bekerja) untuk tetap hadir di pabrik maupun lapangan kerja lainnya . Semakin banyak kerja-kerja rumah tangga yang dilakukan cuma-cuma, maka upah juga tetap rendah. Sebaliknya, semakin kapital menurunkan tingkat upah untuk pekerja (suami atau anggota keluarga yang bekerja), semakin besar pula beban yang harus ditanggung pekerja rumah tangga untuk menyokong si pekerja. Begitulah kapitalisme diuntungkan oleh "unpaid necessary labor" ini.
Selain persoalan persoalan diatas, generasi muda kita terutama kaum wanitanya mengalami destruksi massif di sektor ekonomi, politik, dan budayanya. Betapa tidak, identitas wanita sebagai manusia seutuhnya di reduksi secara drastis menjadi hanya pelengkap dari pria. Budaya patriarkhi yang masih kental di negara kita ini, yang menyangkut perspektif, individu dan sistem yang berlaku seakan selalu memberi ruang yang lebih besar bagi pria dibanding wanitanya.
Lihat saja parlemen kita sekarang, ataupun pejabat publik kedinasan, dapat di pastikan dominasi pria tidak terbendung. (Beruntung Fakultas Biologi memiliki Dekan dan wakil Presiden BEM wanita) Pun demikian wanita seakan menjadi kehilangan alat alat produksinya sendiri. Keahlian keahlian gender feminim seakan tidak terhargai lagi di era ini. Akibatnya? Wanita sekarang teralihkan fungsinya menjadi instrumen instrumen produksi jasa, pariwisata, edukasi, alat manufaktur dll.
Wanita dihadapkan pada nilai dimana mereka dieksploitasi dari sisi seks, seksual dan seksualitasnya hanya demi pemanis produk produk yang dilekatkan pada mereka. Tengok saja instagram, berjubelnya online shop dibarengi dengan membludaknya model model endorse yang bahkan dengan sengaja menawarkan diri menjadi instrumen pelengkap dari suatu produk.
Mengenaskan.
Melihat masalah ini hendaknya kita harus bisa sadar dan menyadarkan diri tentang apa yang terjadi dengan pemaknaan Ketini, Kaum wanita, dan pergerakannya. Janganlah lagi pemaknaan simbolis yang dangkal dan tidak mencerminkan Kartini ini dilanjutkan. Harus ada dekonstruksi perspektif generasi muda terhadap makna kartini dan perjuanganya. Tidak hanya sebatas kebaya, batik, sanggul, cantik dan menguasai sejarah kartini secara dogmatis. Serta tentu saja jangan sampai Kartini hanya menjadi puing puing kenangan yang coba dibangkitkan setahun sekali. Makna Kartini harus hidup dan berkehidupan dalam langkah langkah kita berbangsa dan bernegara.
Penulis: Muflif Fuandi
Foto: @alya_ananda
0 komentar:
Posting Komentar